Oktober 20, 2025
Seri Hukum Keluarga Islam: Bagian 3 - Sejarah Singkat Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Oleh: Lina Amalia -Paralegal LBH Anamfal-
Senin, 20 Oktober 2025
Dalam perjalanan panjang hukum keluarga di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) memiliki posisi yang sangat penting. Ia menjadi jembatan antara nilai-nilai syariat Islam dengan sistem hukum nasional. Kehadirannya menjawab kebutuhan masyarakat dan lembaga peradilan untuk memiliki pedoman hukum yang seragam, terutama bagi umat Islam yang selama ini berpegang pada beragam mazhab fiqh.
KHI bukan merupakan hasil ijtihad kolektif bangsa Indonesia dalam memadukan ajaran Islam, budaya lokal, dan prinsip hukum nasional. Melalui KHI, hukum Islam tidak hanya menjadi nilai moral, tetapi hadir sebagai aturan positif yang memiliki kekuatan hukum di pengadilan agama.
Latar Belakang dan Dasar Pembentukan KHI
Sebelum KHI disusun, praktik hukum Islam di Indonesia bersandar pada kitab-kitab fiqh klasik yang beragam. Setiap hakim agama bisa menggunakan referensi fiqh berbeda, tergantung latar belakang pendidikan dan pandangan mazhab yang dianut. Akibatnya, putusan antar-pengadilan sering kali tidak seragam terutama dalam perkara perkawinan, waris, dan wakaf.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah kemudian mengambil langkah penting. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, ditetapkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman resmi bagi hakim di lingkungan peradilan agama. KHI disusun oleh tim yang melibatkan Departemen Agama (kini Kementerian Agama), Mahkamah Agung, dan para ulama serta akademisi dari berbagai lembaga keislaman.
Instruksi Presiden ini menjadi dasar hukum yang mengikat penerapan KHI di seluruh Indonesia. Artinya, setiap hakim agama wajib menjadikan KHI sebagai rujukan utama dalam memutus perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam.
Tujuan dan Ruang Lingkup KHI
Penyusunan KHI memiliki beberapa tujuan penting. Pertama, untuk mewujudkan keseragaman hukum Islam di Indonesia. Kedua, untuk memudahkan aparat peradilan agama dalam mengambil putusan hukum. Dan ketiga, untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Muslim agar memiliki pedoman yang jelas dalam menjalankan kehidupan keluarga sesuai syariat.
Secara sistematika, KHI dibagi menjadi tiga buku besar:
1. Buku I: Hukum Perkawinan (Pasal 1–170)
Mengatur tentang pernikahan, perceraian, hak dan kewajiban suami istri, serta nasab dan perwalian.
2. Buku II: Hukum Kewarisan (Pasal 171–214)
Membahas tentang ahli waris, bagian warisan, wasiat, dan hibah.
3. Buku III: Hukum Perwakafan (Pasal 215–229)
Mengatur tentang perbuatan wakaf, syarat, dan tata kelola harta wakaf.
Dengan struktur tersebut, KHI menjadi sumber utama dalam perkara keluarga Islam di Indonesia, sekaligus memperkuat pelaksanaan hukum Islam di ranah formal negara.
Dinamika dan Perkembangan KHI di Indonesia
Sejak diberlakukan pada tahun 1991, KHI telah menjadi bagian penting dari sistem hukum nasional. Namun, keberadaannya juga tidak lepas dari berbagai dinamika dan kritik. Beberapa kalangan menilai KHI perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman, terutama dalam isu-isu seperti kesetaraan gender, perlindungan anak, dan hak-hak perempuan dalam perkawinan.
Pada tahun 2004, muncul Rancangan Kompilasi Hukum Islam (R-KHI) yang mencoba memperbarui sejumlah ketentuan dalam KHI lama. Meski demikian, rancangan ini belum resmi diberlakukan karena menimbulkan perdebatan di kalangan ulama dan praktisi hukum. Hingga kini, KHI 1991 tetap menjadi rujukan utama dalam praktik peradilan agama di Indonesia.
KHI juga berperan penting dalam pendidikan hukum dan kajian akademik. Ia menjadi acuan bagi mahasiswa hukum, dosen, dan praktisi dalam memahami hukum keluarga Islam yang berlaku secara nasional.
Penutup
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tonggak penting dalam sejarah hukum keluarga di Indonesia. Ia menandai upaya serius bangsa ini untuk memadukan nilai agama dengan sistem hukum negara tanpa menghilangkan jati diri Islam sebagai sumber moral dan keadilan.
Melalui KHI, umat Islam di Indonesia memiliki pedoman yang pasti dan seragam dalam menyelesaikan perkara keluarga, sekaligus bukti bahwa hukum Islam dapat diinstitusionalisasikan dalam sistem hukum nasional. Meskipun masih terbuka untuk pembaruan, keberadaan KHI hingga kini tetap menjadi simbol sinergi antara agama, budaya, dan negara dalam membangun tatanan hukum yang adil, harmonis, dan berkarakter Indonesia.
0 komentar