November 02, 2025
Seri Hukum Keluarga Islam: Bagian 12 - Hak Asuh Anak
Minggu, 1 November 2025
"Siapa yang berhak mengasuh anak setelah perceraian terjadi?"
Pertanyaan ini sering kali menjadi bagian paling rumit dari proses perceraian di Pengadilan Agama.
Dasar Hukum Hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam hukum Islam, hak asuh anak disebut hadhanah, yaitu kewajiban merawat, memelihara, dan mendidik anak hingga ia mampu mengurus dirinya sendiri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi:
“Dalam hal terjadinya perceraian:
a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c) Biaya pemeliharaan anak menjadi tanggungan ayahnya.”
Dari pasal tersebut, terlihat jelas bahwa KHI menekankan dua hal penting yaitu usia anak dan kemampuan untuk memilih. Dua hal inilah yang menjadi dasar hakim dalam menentukan siapa yang paling berhak mengasuh anak.
1. Jika Anak Belum Mumayyiz (Belum Berusia 12 Tahun)
Anak yang belum mumayyiz dianggap belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta belum bisa mengambil keputusan sendiri. Dalam tahap ini, hak asuh secara otomatis diberikan kepada ibu.
Pertimbangan ini bukan tanpa alasan. Dalam hukum Islam, ibu dianggap memiliki kelembutan, kasih sayang, dan kedekatan emosional yang lebih kuat terhadap anak, terutama di usia dini.
Kebutuhan anak di masa kecil bukan hanya materi, tapi juga perhatian, sentuhan, dan kasih sayang yang secara fitrah lebih mudah diberikan oleh seorang ibu.
Namun, hak asuh ini bukan berarti mutlak. Jika terbukti bahwa sang ibu tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya, misalnya karena melakukan kekerasan, meninggalkan anak, atau tidak memiliki stabilitas moral, maka hakim dapat memindahkan hak asuh kepada ayah atau pihak lain yang dianggap lebih layak. Dengan kata lain, kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) tetap menjadi prinsip utama dalam setiap putusan.
2. Jika Anak Sudah Mumayyiz (Sudah Berusia 12 Tahun ke Atas)
Berbeda halnya dengan anak yang sudah mumayyiz, yaitu anak yang dianggap sudah mampu berpikir, memahami situasi, dan menentukan pilihan secara sadar. Dalam hal ini, hak asuh tidak otomatis jatuh kepada ayah atau ibu, melainkan diserahkan kepada anak untuk memilih.
Hakim biasanya akan menanyakan langsung kepada anak:
“Kamu ingin tinggal bersama ayah atau ibu?”
Pilihan anak ini kemudian menjadi dasar pertimbangan hakim, meskipun keputusan akhir tetap berada di tangan pengadilan.
Namun, penting dipahami bahwa keputusan anak bukan berarti lepas dari pengawasan. Pihak yang tidak mendapatkan hak asuh tetap berhak untuk bertemu dan berinteraksi dengan anak. Ini untuk memastikan anak tidak kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, meski mereka tidak lagi tinggal serumah.
3. Tanggung Jawab Setelah Penetapan Hak Asuh
KHI juga menegaskan bahwa biaya pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab ayah. Hal ini mencakup kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pakaian, dan tempat tinggal. Bahkan jika hak asuh berada di tangan ibu, kewajiban finansial ayah tidak gugur.
Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam dan semangat keadilan sosial yang dimana ayah tetap menjadi pemimpin keluarga dan wajib menafkahi anak-anaknya, terlepas dari status pernikahan.
Selain itu, hak asuh dapat dievaluasi kembali bila terjadi perubahan kondisi. Misalnya, jika anak merasa tidak nyaman atau terabaikan, pengadilan bisa meninjau ulang putusan dengan alasan demi kepentingan terbaik bagi anak.

0 komentar