November 01, 2025

 




Seri Hukum Keluarga Islam: Bagian 9 - Kekerasan dalam Rumah Tangga: Ketika Rumah Tak Lagi Aman 


(Analisis hukum dan perlindungan korban KDRT dalam hukum nasional dan Islam)

Oleh: Lina Amalia -Paralegal LBH Anamfal-

Sabtu, 31 Oktober 2025


Rumah seharusnya menjadi tempat berlindung yang penuh kasih dan ketenangan, tempat di mana cinta tumbuh dan rasa aman bersemayam. Namun, bagi sebagian orang, rumah justru berubah menjadi ruang penuh luka, tangisan, dan ketakutan yang disembunyikan di balik senyum pura-pura. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi fenomena memilukan yang terus berulang di berbagai lapisan masyarakat Indonesia.

Data Komnas Perempuan mencatat ribuan laporan KDRT setiap tahunnya, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi. Namun para ahli meyakini angka sesungguhnya jauh lebih tinggi karena banyak korban memilih diam. Ketakutan akan ancaman, tekanan sosial, serta ketergantungan ekonomi membuat mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan yang sulit diputus.


Perlindungan Hukum dalam Sistem Nasional

Secara hukum, negara telah menetapkan perlindungan bagi korban melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Undang-undang ini menjadi tonggak penting yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak merasa aman dan terbebas dari segala bentuk kekerasan, baik di ranah publik maupun privat. UU ini juga memberikan definisi yang luas tentang kekerasan, mencakup fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Korban KDRT memiliki hak untuk melapor ke aparat hukum, mendapatkan perlindungan, layanan kesehatan, serta pendampingan hukum hingga pemulihan psikologis. Negara juga menyediakan lembaga dan rumah aman bagi mereka yang membutuhkan tempat perlindungan sementara. Meski demikian, praktik di lapangan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Penegakan hukum kerap terhambat oleh pandangan konservatif sebagian aparat yang menganggap KDRT sebagai urusan domestik semata.

Tidak sedikit kasus yang berhenti di tengah jalan karena korban ditekan untuk berdamai, atau bahkan dipersalahkan atas kekerasan yang mereka alami. Padahal, keadilan seharusnya berpihak pada yang terluka, bukan pada mereka yang melukai. Penegakan hukum yang konsisten, sensitif gender, dan berpihak pada korban menjadi kunci utama untuk memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga.


Rumah Sebagai Sumber Sakinah, Bukan Kekerasan

Dalam ajaran Islam, pernikahan bukan sekadar ikatan lahir batin, tetapi juga perjanjian suci untuk saling mencintai dan menghormati. Al-Qur’an menegaskan dalam surah Ar-Rum ayat 21 bahwa Allah menciptakan pasangan agar manusia mendapatkan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Prinsip ini menjadi dasar bahwa rumah tangga harus dibangun atas kasih, bukan kekerasan.

Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam memperlakukan keluarga. Beliau tidak pernah memukul istrinya, tidak membentak, dan selalu menunjukkan kelembutan dalam rumah tangganya. Dalam sebuah hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Hadis ini menegaskan bahwa kekerasan terhadap pasangan atau anak bertentangan dengan nilai Islam.

Dalam hukum Islam, kekerasan terhadap pasangan dipandang sebagai ‘dzulm’ (kezaliman), yaitu tindakan melampaui batas terhadap hak orang lain. Jika seorang suami melakukan kekerasan terhadap istrinya, maka ia telah berbuat dosa besar dan dapat dimintai pertanggungjawaban moral maupun hukum. Islam juga memberikan tempat bagi korban untuk menuntut keadilan, bahkan hingga perceraian, jika keselamatan jiwanya terancam. 


Membangun Kesadaran, Menghapus Normalisasi Kekerasan

Kekerasan dalam rumah tangga tidak akan pernah hilang jika masyarakat masih memandangnya sebagai hal biasa atau “aib keluarga” yang harus ditutupi. Normalisasi kekerasan ini menjadi penghalang terbesar bagi korban untuk mencari keadilan. Banyak perempuan dan anak yang bertahan bukan karena cinta, tetapi karena takut, malu, dan tidak punya pilihan lain.

Diperlukan perubahan cara pandang bahwa melaporkan KDRT merupakan langkah untuk menyelamatkan diri. Masyarakat juga harus berhenti menghakimi korban dan mulai menaruh empati. Lembaga sosial, tokoh agama, dan aparat penegak hukum harus bergandengan tangan dalam memberikan edukasi, pendampingan, dan perlindungan nyata.

Kesadaran kolektif inilah yang dapat menciptakan lingkungan aman bagi korban. Rumah seharusnya menjadi tempat di mana setiap anggota keluarga bisa tumbuh dalam cinta dan rasa hormat.


May You Also Like This

0 komentar

LBH Anamfal


LBH Anamfal Jakarta
@Vila Inti Persada  
Blok A2, No.28, RT/RW: 001/019, Kel. Pamulang Timur, Kec. Pamulang 
Kota Tangerang Selatan, Prov. Banten

LBH Anamfal Cirebon
@Pesantren Qur'an Anamfal 
Jl. Raya Pasawahan, Pasawahan, Susukan Lebak, Cirebon

WA CS :  +62899-5625-137 (Faridah), 0821-1443-4905 (Gerard)
Email: lbh.anamfal@gmail.com

Visitor