Oktober 25, 2025
Seri Hukum Keluarga Islam: Bagian 5 - Urgensi Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Oleh: Lina Amalia -Paralegal LBH Anamfal-
Sabtu, 25 Oktober 2025
Setiap pernikahan dimulai dari sebuah niat baik. Dua orang saling berjanji untuk membangun kehidupan bersama, mengucapkan akad di hadapan wali dan saksi, disertai restu keluarga dan doa yang tulus. Namun setelah semua selesai, sering kali ada satu hal yang terlupa yaitu mencatat pernikahan itu secara hukum.
Sebagian orang masih berpikir bahwa selama pernikahan dilakukan secara agama, sudah cukup. Ada penghulu, ada wali, ada saksi, berarti sah. Padahal, di Indonesia, akad saja tidak cukup. Pernikahan baru dianggap sempurna ketika tercatat oleh negara. Bukan karena negara ingin ikut campur dalam urusan agama, tapi karena hukum butuh bukti agar bisa melindungi.
Akad yang Sah Belum Tentu Kuat di Mata Hukum
Dalam Islam, akad nikah memang menjadi inti dari pernikahan. Rukun dan syaratnya jelas: ada calon suami, calon istri, wali, dua saksi, serta ijab dan qabul yang sah. Dengan semua itu terpenuhi, maka akadnya sah di sisi Allah. Namun, hukum Indonesia menambahkan satu langkah penting yaitu pencatatan.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Yap...Negara tidak hanya ingin tahu siapa menikah dengan siapa. Tapi negara ingin memastikan bahwa hak-hak yang lahir dari pernikahan itu bisa dijaga. Tanpa pencatatan, akad yang sah di mata agama belum memiliki kekuatan di mata hukum.
Pencatatan Merupakan Bentuk Perlindungan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan agar setiap perkawinan dicatat untuk menjamin ketertiban. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan:
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.”
Lalu Pasal 7 ayat (1) menambahkan:
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.”
Aturan ini bukan dibuat untuk mempersulit. Justru sebaliknya, pencatatan dibuat untuk melindungi. Karena dalam realitanya, banyak perempuan dan anak yang dirugikan akibat pernikahan yang tidak tercatat. Kemudian ketika rumah tangga bermasalah, istri tidak bisa menuntut nafkah secara hukum. Ketika suami meninggal, istri tidak bisa menuntut hak waris karena tak ada bukti resmi bahwa ia adalah istri sah. Bahkan anak yang lahir dari pernikahan tersebut bisa kehilangan hak perdata karena status hukum orang tuanya tidak jelas.
Negara Bukan Mengambil Alih
Ada anggapan bahwa pencatatan pernikahan adalah bentuk campur tangan negara dalam urusan agama. Padahal, tidak begitu. Negara tidak menilai sah atau tidaknya akad di hadapan Allah. Itu urusan keyakinan. Yang dilakukan negara hanyalah memastikan ada bukti hukum agar semua pihak terlindungi.
Dengan akta nikah, seorang perempuan memiliki kekuatan hukum yang jelas. Anak memiliki hak identitas yang diakui. Harta bersama bisa diatur secara adil. Dan ketika terjadi perceraian, proses hukumnya menjadi lebih tertib. Negara tidak mengubah nilai agama, hanya menegaskan bahwa niat baik harus diikuti dengan tanggung jawab hukum.
Kalau Tidak Dicatat, Siapa yang Akan Menanggung?
Banyak kasus di pengadilan agama berawal dari pernikahan yang tidak tercatat. Ada istri yang datang membawa buku nikah palsu, ada yang menggugat itsbat nikah bertahun-tahun hanya untuk diakui statusnya sebagai istri. Ada juga anak yang tidak bisa mencantumkan nama ayah di akta kelahiran karena perkawinan orang tuanya tidak tercatat. Padahal semua itu bisa dihindari dengan satu langkah sederhana yaitu dengan datang ke KUA dan mencatatkan pernikahan.
Tidak ada yang berkurang dari kesakralan akad ketika ia dicatat justru nilainya bertambah, karena dengan demikian penikahan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Ketika seseorang berani menikah, berarti ia juga berani memastikan bahwa pasangannya terlindungi secara hukum. Bahwa jika suatu saat ada masalah, ada aturan yang bisa membela. Bahwa cinta yang dulu diikrarkan dengan ijab qabul, kini juga diikat dengan kekuatan hukum negara.

0 komentar