Oktober 25, 2025
Seri Hukum Keluarga Islam: Bagian 4 - Antara Akad dan Ijab Qabul
Oleh: Lina Amalia -Paralegal LBH Anamfal-
Sabtu, 25 Oktober 2025
Setiap pernikahan bermula dari satu momen sakral, yaitu akad nikah. Momen ketika seorang wali mengucapkan ijab, dan seorang laki-laki menjawab dengan qabul, menandai berpindahnya tanggung jawab seorang perempuan dari ayahnya kepada suaminya. Pernikahan, dalam Islam merupakan perjanjian suci yang disebut oleh Allah sebagai mitsaqan ghaliza (janji yang kokoh)
1. Akad Nikah Merupakan Awal dari Sebuah Amanah
Dalam hukum Islam, akad nikah adalah inti dari sahnya pernikahan. Ia bukan hanya perjanjian antara dua pihak, melainkan ikatan spiritual dan hukum yang disaksikan oleh Allah SWT.
Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 21:
“Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza).”
Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan memiliki nilai tanggung jawab yang besar dan amanah di hadapan Tuhan.
Para fuqaha menjelaskan bahwa rukun nikah terdiri atas lima unsur:
1. Calon suami,
2. Calon istri,
3. Wali nikah,
4. Dua orang saksi, dan
5. Ijab serta qabul.
Kelima unsur ini juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 14, yang menyebutkan bahwa “rukun perkawinan terdiri atas calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul.” Artinya, secara normatif, ketentuan fikih klasik telah diakomodasi secara eksplisit dalam sistem hukum nasional melalui KHI.
2. Ijab Qabul Merupakan Saksi Langit atas Janji Dunia
Ijab diucapkan oleh wali, sementara qabul diucapkan oleh calon suami. KHI Pasal 27 menegaskan bahwa “ijab dan qabul harus jelas, berurutan, dan tidak diselingi oleh pembicaraan lain yang dapat memutus hubungan antara ijab dan qabul.” Hal ini sejalan dengan pandangan jumhur ulama bahwa kesatuan majelis dan kejelasan lafaz menjadi syarat sahnya akad.
Dengan ijab qabul yang sah, pernikahan menimbulkan akibat hukum secara langsung. Suami berkewajiban memberi nafkah, melindungi, dan memperlakukan istri dengan baik; sementara istri berhak atas perlindungan, kehormatan, dan keadilan.
Dalam perspektif hukum Islam, momen ijab qabul adalah peralihan tanggung jawab dan lahirnya hak-hak keperdataan dalam bingkai yang halal dan bermartabat.
3. Keselarasan Akad Nikah dalam Hukum Nasional
Hukum positif Indonesia mengakui asas keagamaan sebagai dasar sahnya pernikahan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Dengan demikian, pernikahan dalam Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana diatur dalam syariat serta KHI. Namun, Pasal 2 ayat (2) UU yang sama menambahkan:
“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pencatatan ini merupakan wujud pengakuan administratif dari negara agar pernikahan memiliki kekuatan hukum perdata. Dengan kata lain, akad dan ijab qabul mengesahkan pernikahan secara agama, sedangkan pencatatan mengesahkannya secara negara.
KHI juga menegaskan pentingnya pencatatan dalam Pasal 5 ayat (1):
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.”
Ketentuan ini menunjukkan bahwa keduanya berorientasi pada perlindungan dan kejelasan status hukum keluarga.
4. Akibat Hukum dari Akad Nikah
Akad nikah bukan hanya perjanjian moral, tetapi juga perjanjian hukum yang menimbulkan akibat nyata. Dalam KHI Pasal 80, diatur bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sebaliknya, Pasal 83 menegaskan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya dan menjaga kehormatan dirinya serta keluarganya.
Dari akad nikah juga lahir hak-hak keperdataan lainnya, seperti:
• Keabsahan hubungan nasab dan hak waris,
• Timbulnya hak dan kewajiban terhadap anak,
• Kewenangan hukum dalam pembagian harta bersama (gono-gini), dan
• Kewajiban timbal balik dalam memelihara kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian, akad merupakan dasar lahirnya sistem hukum keluarga yang diakui oleh negara.
5. Akad di Tengah Perubahan Zaman
Di tengah modernitas dan pergeseran nilai, makna akad nikah sering tertutupi oleh kemeriahan pesta dan adat. Padahal, inti dari pernikahan terletak pada keikhlasan dalam ijab qabul.
Akad merupakan perjanjian yang kokoh antara dua manusia untuk saling menegakkan kebaikan dan kasih sayang. Ketika seorang suami mengucapkan “saya terima nikahnya…”, ia sejatinya sedang memikul amanah besar yang harus dijaga dengan kejujuran dan tanggung jawab. Begitu pula seorang istri, yang dengan ridha menerima kehidupan bersama, turut menguatkan perjanjian itu dengan keikhlasan hati.

0 komentar